Kamis, 12 Mei 2016

MUSEUM SOEHARTO


SEJARAH
Museum memorial Jenderal Besar Soeharto diresmikan pada 8 Juni 2013 oleh Probosutedjo, adik Soeharto, bertepatan dengan hari lahir Soeharto. Museum ini dibangun di atas lahan seluas 3.620 meter persegi, untuk untuk mengenang jasa dan pengabdian Soeharto semasa hidupnya untuk bangsa Indonesia agar dapat menjadi inspirasi bagi generasi muda. Koleksi yang tersimpan di dalamnya antara lain benda kenangan milik Soeharto sejak berdinas di kemiliteran hingga saat menjabat sebagai presiden Republik Indonesia, termasuk berbagai prestasi yang pernah diraih semasa menjabat Presiden ke-2 Indonesia. dibangun dan diresmikan oleh H. Probosutedjo (adik dari Soeharto) dan Siti Hardijanti Rukmana (Mbak Tutut, putri pertama Soeharto)
Memorial ini dibangun menjadi tetenger dan sumber inspirasi bagi generasi muda, selain itu untuk mengenang jasa dan pengabdian beliau kepada bangsa negara Republik Indonesia.

BAGIAN MUSEUM
Memasuki museum ini terdapat patung besar Jenderal Besar H.M. Soeharto karya seniman Edhi Sunarso, bersebelahan dengan batu besar sebagai prasasti peresmian museum. Dalam pendopo memajang piranti multimedia berisikan gambar-gambar perjuangan Soeharto serta buku elektronik yang bersebelahan dengan patung setengah badan Soeharto. Untuk melihat koleksi lengkap dari museum ini, pengunjung dapat memasuki ruang diorama yang dikemas dengan perpaduan tradisional dan modern. Memasuki ruangan ini, pengunjung akan disambut dengan instalasi roll film berisi dokumentasi visual gerak tentang perjuangan Soeharto. Selain itu juga terdapat diorama perjuangan ketika melakukan koordinasi dengan Panglima Besar Jenderal Sudirman pada Serangan Umum 1 Maret 1949. Di dalam diorama ini ada penggambaran ketika Soeharto diundang oleh FAO di Roma tahun 1985 untuk mendapatkan penghargaan keberhasilan dalam swasembada pangan.

Petilasan dan Sumur Tempat Pak Harto Lahir. Dibagian belakang, kita akan menemukan sebuah petilasan dan sumur tempat pak Harto lahir, tinggal dan juga mandi saat kecil. Disamping petilasan ini juga terdapat rumah joglo yang sederhana namun juga modern karena terdapat AC didalamnya dan adanya ukiran dari akar pohon. Disana juga terdapat watu blorok yang dikatakan sebagai tempat penyampaian pesan atau isyarat. Secara keseluruhan, museum Soeharto Jogja ini merupakan obyek wisata yang tepat untuk mengenang sejarah. Apalagi, museum ini memang tidak sekedar museum namun berisi perjalanan hidup HM Soeharto dan desainnya juga cukup menyenangkan dan memiliki nilai seni yang tinggi.


STRUKTUR ORGANISASI
•Dibawah naungan Management Warsa Mandala yang dimiliki H. Probosutedjo (adik dari Soeharto)
•Pengelola
-Kepala : Teguh
-Wakil kepala : Gatot Nugroho
-Pelindung
-Penasehat
-Bendahara
-Unit Penugasan :            °Unit Pemanduan (edukasi)
°Unit Administrasi
°Unit Humas
°Unit Kebersihan
 °Unit Security


JENIS ATRAKSI
1.1 Atraksi Edukasi
Dalam pendopo memajang piranti multimedia berisikan gambar-gambar perjuangan Soeharto serta buku elektronik yang bersebelahan dengan patung  setengah badan Soeharto. Wisatawan(rombongan) akan diajak melihat dan mengingat perjuangan Soeharto ,yang akan di bantu oleh seorang pemandu  sebelum memasuki diorama.

1.2 Atraksi Diorama
Kemudian setelah memasuki museum, pengunjung akan disambut dengan instalasi berisi dokumentasi visual gerak tentang perjuangan Soeharto.Ruang diorama ini sangat menarik karena penyajiannya menggunakan proyektor dan kaca tersembunyi dalam lorong – lorong, sehingga ruangan ini cukup menarik perhatian.Perjuangan – perjuangan pak harto ini pun dikemas dalam bentuk hologram sehingga tidak akan bosan saat memasuki ruangan yang penuh memorial ini.

SASARAN PASAR
Museum ini di buat sebagai penanda dan pengingat serta wahana edukasi tentang salah satu tokoh besar dalam sejarah bangsa Indonesia yakni HM. Soeharto. Oleh karena itu museum ini sangat  cocok untuk semua kalagan baik itu pelajar, mahasiswa, maupun kalagan pemerintah atau swasta yang memang asli bangsa Indonesia, ataupun wisatawan mancanegara yang ingin mempelajari lebih dalam tentang sejarah Indonesia.

TARGET KUNJUNGAN
Pengelola mengatakan bahwa museum ini tidak mentargetkan berapapun wisatawan yang akan datang. Akan tetapi pengelola mengatakan museum ini dibuat dengan kapasitas 600 orang. Namun apabila pada masa liburan bulan peak season dan hari-hari libur nasional yang mengakibatkan pengunjung melebihi kapasitas, maka di wajibkan untuk ketua rombongan atau agent yang membawa wisatawan untuk memberikan konfirmasi terlebih dahulu untuk  penyesuaian waktu dan tanggal sebelum datang ke museum agar tidak terjadi kelebihan kapasitas.

CATATAN KRITIS
            Kelebihan dari museum ini sendiri terlihat pengelolaan kebersihan dimuseum sehingga museum terlihat baik dan terawat. Sarana edukasi museum yang bias dibilang sudah sangat modern pada jamannya. Selain itu aturan yang dipatuhi baik oleh pengelola museum maupun pengunjung yang datang ke museum ini. Dan untuk amenitas di museum ini sendiri bagi wisatawan sudah cukup baik. Sehingga wisatawan nyaman untuk berkunung dan berwisata di museum ini.


            Selain kelebihan tersebut, masih ada beberapa kekurangan, seperti kurangnya papan penunjuk arah untuk menuju destinsi mudeum ini, sehingga pengunjung agak kesulitan. Dan juga tidak adanya pembatasan kunjungan bagi wisatawan sehingga ditakutkan akan membuat ketidaknyamanan pengunjung dan akan timbul kerusakan yang tak terdugan , serta saat saya berkunjung terlihat kurangnya kesadaran wisatawan untuk menjaga kebersihan di area museum.

Minggu, 13 Maret 2016

MUSIK TRADISIONAL GEJOG LESUNG



Hampir semua orang menyukai musik. Tapi berbeda dengan musik yang satu ini. Musik tidak hanya dihasilkan oleh alat musik modern atau klasik yang sudah tidak asing lagi ditelinga kita dan digemari para remaja saat ini, seperti gitar, bass, drum, piano ataupun keyboard. Namun, ibu-ibu di Desa Candran Kebonagung Imogiri Bantul Yogyakarta dapat menghasilkan alunan suara musik yang indah dari kayu yang berbentuk perahu yang sudah agak kusam dan tua ini. Untuk menuju Desa candran, kebonagung, imogiri, bantul sangatlah mudah, tempatnya yang tidak jauh dari pusat kota yogyakarta serta jalan yang bagus dentinasi ini dapat ditempuh sekitar satu setengah jam saja menggunakan kendaraan pribadi.
Gejog lesung, , salah satu seni tradisional dari Yogyakarta. Seni yang merupakan bentuk ucapan syukur kepada Dewi Sri atau Dewi Padi atas melimpahnya panen padi itu terancam punah. Dulu, lesung dipakai untuk memisahkan bulir padi dari batangnya. Perkembangan zaman ini menumbuk di dalam lesung dinilai kurang efektif. Sehingga kini gejog lesung sudah mulai ditinggalkan sekarang warga lebih sering menggunakan alat selep padi ketimbang gejog lesung. Menggunakan Gejog Lesung padi yang dihasilkan lebih sedikit dan membutuhkan waktu yang lama karena membutuhkan ketekunan. Oleh karena itu Gejog Lesung sudah tidak digunakan lagi oleh warga. Sekarang Gejog Lesung sudah jarang ditemukan, kalaupun masih ada usianya mungkin sudah sangat tua.
Ciri khas dari kesenian ini adalah alu dan juga lesungnya. Alu adalah alat yang terbuat dari kayu untuk menumbuk padi, sedangkan lesung yang berbentuk mirip perahu digunakan untuk memisahkan padi dari tangkainya. Alat music ini tidak bisa dimainkan sendiri atau individu. Biasanya alu ini akan ditabuh oleh tujuh hingga delapan orang agar menciptakan perpaduan bunyi yang indah. Agar lebih menarik, tradisi ini sudah dipadu dengan nyanyian-nyanyian Jawa seperti Caping Gunung, Gundul Gundul Pacul serta lagu panembrama. Biasanya ada penari yang melenggak-lenggok  untuk mengiringi suara gejog lesung yang berbunyi thok-thek-thok-thek.

Selain itu, biasanya gejog lesung dari Desa Candran Kebonagung Imogiri Bantul Yogyakarta diiringi tarian nini thowong yang ditarikan oleh ibu-ibu yang sangat bersemangat, konon, gejog lesung memiliki hubungngan atau sejarah dengan nini thowong. Ada Legenda tentang Gerhana Bulan  yang bercerita tentang Gejog Lesung. Konon, ada Raksasa Kala Rahu yang ingin memakan Bulan. Ketika itu Nini Thowong  yang menjaga Bulan sedang tertidur,lalu Raksasa Kala Rahu berhasil memakan separuh Bulan. Maka, masyarakat pun membuat bunyi-bunyian, termasuk memukulkan alu ke lesung. Nini Thowong pun terbangun, lalu memanah Raksasa Kala Rahu, sehingga Bulan dimuntahkan kembali.


Musik Tradisional Gejog Lesung saat ini sudah menjadi salah satu kesenian tradisional. Sekarang sudah hampir jarang sekali ditemui kesenian Gejog Lesung. Kesenian tersebut hanya dimainkan oleh ibu-ibu yang terbilang lanjut usia, dan hanya pada acara atau even tertentu saja. Jika kesenian gejog lesung tidak dilestarikan oleh generasi muda maka lambat laun akan punah, dan generasi yang akan datang seperti anak cucu kita sudah tidak mengenal kesenian ini lagi, sebagai generasi muda kita wajib melestarikan kesenian tradisonal ini agar kesenian dan peninggalan nenek moyang ini tetap ada dan diharapkan melalui kesenian Gejog lesung generasi muda bisa tumbuh dengan ceria dan melestarikan budaya bangsa.

Sabtu, 20 Desember 2014

PANTAI PASIR PUNCU DAN KETAWANG

Pantai Pasir Puncu Terletak dua puluh dua kilometer dari Kota Purworejo atau sebelas kilometer dari Kota Kecamatan Kutoarjo ke arah selatan, tepatnya di Hardjobinangun dan Ketawang Kecamatan Grabag, kita dapat menikmati wisata bahari Pantai Pasir Puncu dan Ketawang. Kawasan ini memiliki pesona tersendiri dengan panorama Pantai Laut Selatan yang menarik dan menawan. Perjalanan wisata ke kawasan tersebut sungguh memikat.
Dari kota Kutoarjo, di sepanjang jalan wisatawan dapat menyaksikan berbagai keindahan dan keunikan alam Purworejo berupa hamparan sawah di kiri-kanan jalan dan rangkaian Pegunungan Geger Menjangan yang menakjubkan.
Gb. Jalan Menuju Kawasan Wisata
 Perjalanan akan terasa makin pendek karena di sepanjang jalan menuju kawasan wisata tersebut ditanami berbagai jenis pohon rindang seperti Asam Jawa dan Mahoni. Kesejukan ini seolah memberikan nuansa baru sehingga tanpa terasa wisatawan telah memasuki pintu gerbang kawasan wisata pantai tersebut.
Di pintu gerbang inilah wisatawan akan bertemu dengan dua buah jalan berpasir, di mana jalan ke kiri menuju Pantai pasir Puncu dan Jalan ke kanan Pantai Ketawang dengan jarak masih-masing kira-kira 2 kilometer dan 1,5 kilometer. Situasi sepanjang kedua jalan ini hamper sama, jalannya  berupa perkebunan tebu yang tertata rapi. Begitupula keindahan pantainya. Pantai Selatan yang indah dengan ombak besar memecah pantai putih membuih.

Gb. Nelayan Yang pergi Melaut
Pantai Pasir Puncu memiliki keistimewaan yang jarang diperoleh di tempat lain. Tempat ini merupakan muara kali Rebung, Kali Kedungmacasan dan Kali Pedegolan. Ketiga kali yang berbapu menyatu menjadi satu muara yang kemudian dikenal sebagai sungai jali ini menciptakan suatu pesona yang cukup langka. Kondisi ini semakin lebih indah tatkala gelombang air laut menggulung kepantai menyambut kedatangan air sungai. Perpaduan antara air sungai yang berwarna keruh dengan air laut yang berwarna biru itu menghasilkan pemandangan sangat indah.
Gb. Muara Kali Rebung

Tawaran menarik lain yang dapat dinikmati wisatawan di Pantai Pasir Puncu di samping keindahan pantainya adalah wisata air dengan naik perahu tempel di muara sungai Jali. Di pantai pasir Puncu maupun Ketawang, wisatawan dapat denganleluasa menyaksikan betapa indahnya suasana matahari terbenam di ufuk barat.
Gb. Matahari Terbenam Di Panti Pasir Puncu
Untuk mencapai kawasan wisata Pantai Puncu Pasir dan Ketawang, wisatawan dapat menggunakan kendaraan pribadi, bus mini. Kondisi jalannya sudah beraspal, kecuali 1,5 sampai 2 kilometer sebelum obyek. Kedua pantai tersebut dapatt juga dicapai melalui Kecamatan Purwodadi, sekitar 12 kilometer dari Kota Purworejo. Bila jalur ini yang hendak ditempuh, maka wisatawan bisa singgah terlebih dahulu di obyek wisata Pantai Jatimalang Indah yangt tidak kalah menariknya dengan Pantai Pasir Puncu dan Ketawang. Pantai Jatimalang Indah masuk dalam wilayah Kecamatan Purwodadi, Purworejo.
Sebagaimana pantai-pantai lain di pesisir selatan, pantai ini “dilindungi ” oleh mitos Nyi Roro Kidul. Nama Nyi Roro Kidul adalah sebuah nama yang tentunya tidak asing melekat pada telinga seluruh masyarakat pulau jawa, khususnya masyarakat yang tinggal di pantai laut selatan, Nyi Roro Kidul adalah tokoh jaman dahulu kala yang merupakan salah satu putri dari Prabu Siliwangi yang memerintah kerajaan Padjajaran yang buruk rupa dikarenakan suatu penyakit, karena putus asa Nyi Roro Kidul tersebut bunuh diri dengan terjun ke pantai selatan yang sekarang dikenal dengan nama Pelabuhan Ratu, konon setelah terjun kelaut, Nyi Roro Kidul berubah menjadi putri yang cantik dan menjadi penguasa pantai selatan serta menjadi sebuah mitos dan legenda hingga saat ini.
Cerita serta mitos tentang Nyi Roro Kidul juga berkembang luas di masyarakat jawa tengah, terutama di Daerah Istimewa Jogjakarta, dimana cerita tersebut menyebutkan bahwa daerah Parang Tritis merupakan pertemuan Sultan Agung yang merupakan Raja Mataram Islam di daerah Kota Gede yang sekarang merupakan bagian dari wilayah jogjakarta, dalam mitos tersebut juga menceritakan bahwa Raja Sultan Agung sering mengadakan pertemuan dengan Nyi Roro Kidul di wilayah pantai selatan Jogjakarta yaitu di Parang Tritis serta Parang Kusumo


Sabtu, 13 Desember 2014



SEJARAH BAGELEN
                Tanah bagelen merupakan suatu kawasan di selatan Jawa Tengah menurut tata negara Mataram masa Sultan Agung, ( FA Sutjipta 1963 ) yang disebut tanah bagelen terdiri dua bagian dalam satu kesatuan yaitu wilayah bagelen di sebelah barat sungai progo sampai timur sungai bogowonto disebut “Tumbak Anyar” dan yang kedua wilayah di barat sungai Bogowonto sampai Timur Sungai Donan ( Cilacap ) yang disebut “Urut Sewu” . dua wilayah Tumbak Anyar dan Urut Sewu itulah yang dinamakan Tanah Bagelen yang melegenda.
                Wilayah Bagelen sekarang sudah terpecah menjadi beberapa Kabupaten yaitu Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Purworejo ( gabungan kadipaten Kutoarjo dan Brengkelan ), Kabupaten Kebumen ( gabungan kadipaten Ambal, Gombong, Karanganyar, dan Kutowinangun ), Kabupaten Cilacap, ditambah Kabupaten Wonosobo, sisa dari wilayah yang dahulu dikenal sebagai Urut Sewu atau Ledok.
                Nama Bagelen menurut Profesor Purbatjaraka (1954) seorang ahli sejarah Kuno, berasal dari kata pagaluhan, wilayah yang masuk dalam kekuasaan kerajaan Galuh.
Berdasarkan penelitian Arkheologi Yogyakarta, ( Prayitno Hadi S, 2007 ) teryata di pusat wilayah Bagelen tepatnya di Desa Bagelen dan sekitarnya yang masuk dalam Kabupaten Purworejo, sekurang-kurangnya terdapat sekitar 70 buah situs Megalitik dan Puluhan Situs Klasik Hindhu-Budha
                Salah satu tempat yang menarik adalah Desa Watukuro kecamatan Purwodadi, Purworejo, lokasinya di muara sungai Bogowonto. Menurut Profesor DR. N J. Khrom (1950) seorang ahli Purbakala di Desa ini dahulu terdapat tempat untuk Perabuan Jenazah-jenazah Raja-Raja Mataram Hindhu, demikian juga asal usul Raja Mataram Hindhu terbesar yaitu Diah Balitung. Sayang situs peninggalan purbakala di desa Watukuro telah hilang akibat adanya sistem tanam paksa pada abad 19.
                Menurut Profesor Brandes (1889) di Pulau Jawa sebelum masuknya Pengaruh Hindhu, berdasarkan bukti dan data-data Prasasti telah memiliki paling tidak 10 macam kepandaian khusus yakni pertunjukan wayang, musik gamelan, seni syair, pengrajin logam, sistem mata uang untuk perdagangan, navigasi, irigasi, ilmu falak, dan sistem pemerintahan yang teratur.
Bagelen memiliki nilai dan karismatik sebagai sebuah wilayah. Wilayah yang luas -terdapat 20 kecamatan jika dibandingkan dengan kondisi administratif saat ini- dan terletak di Jawa Tengah bagian selatan (tepatnya di Yogyakarta) itu memiliki peranan yang sangat penting dalam sejarah tanah air. Operasi militer, perlawanan terhadap Kompeni, pembangunan candi (Prambanan dan Borobudur) merupakan beberapa bukti pentingnya wilayah tersebut.
Bukti-bukti kebesaran Bagelen tercatat sebagai berikut:

1. di era Majapahit, Raja Hayam Wuruk pernah memerintahkan untuk menyelesaikan pembangunan candi makam dan bangunan para leluhur, menjaga serta merawatnya dengan serius (Negarakertagama);
2. di era Demak, Sunan Kalijaga (anggota Wali Songo) mengunjungi dan menyebarkan Agama Islam di Bagelen serta mengangkat muridnya, Sunan Geseng untuk berdakwah di wilayah Bagelen;

3. di awal Dinasti Mataram, Panembahan Senopati menggalang persahabatan dengan para kenthol (tokoh-tokoh) Bagelen untuk menopang kekuasaannya.

4. ditemukannya bukti-bukti sejarah, seperti Lingga (52 buah), Yoni (13), stupa/Budhis (2), Megalith (22), Guci (4), Arca (38), Lumpang (24), Candi Batu atau berkasnya (8), Umpak Batu (16), Prasasti (3), Batu Bata (8), temuan lain (17), dan Umpak Masjid (20).
Tapi pada akhirnya, Bagelen sebagai sebuah kawasan yang solid akhirnya terpecah seiring dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) yang didesain oleh Kompeni Belanda untuk memecah Mataram menjadi dua kerajaan; Kasunanan Surakarta (Solo) dengan Sunan Paku Buwono III sebagai raja pertamanya, dan Kasultanan Yogyakarta dengan Sultan Hamengku Buwono I sebagai rajanya.
Sebagian masuk Solo, dan sisanya masuk Yogyakarta. Secara peradaban, Bagelen sudah terbelah. Abad XIX (1825-1830), Bagelen ikut dalam Perang Jawa. 3000 prajurit Bagelen di bawah kendali Pangeran Ontowiryo menyokong perjuangan Pangeran Diponegoro yang terpusat di Tegalrejo, Magelang. Saking kuatnya perlawanan Bagelen, Kompeni Belanda sampai harus menggunakan taktik Benteng Stelsel, dengan mambangun 25 buah benteng di kawasan Bagelen.
Usaha Belanda untuk semakin memperlemah Bagelen dilanjutkan di tahun 1901. Tanggal 1 Agustus, Bagelen dihapus secara karesidenan dan dilebur ke dalam Karesidenan Kedu. Selanjutnya Bagelen hanya dijadikan sebagai sebuah kecamatan saja. Kemudian Belanda juga membangun jalur transportasi Purworejo-Magelang untuk memudahkan pengawasan. Belanda juga menempatkan batalion militer reguler dengan dibantu serdadu negro (Ambon?). Kebijakan ini sangat nyata untuk menghilangkan jati diri Bagelen sebagai sebuah kawasan yang sangat berakar.
Mungkin hanya itu yang dapat saya sampaikan, tulisan ini mungkin belum cukup komplit, tapi setidaknya bisa membantu menerangkan sejarah Bagelen


NYAI BAGELEN



Gb. Pesarean Nyai Bagelen

Purworejo kota kecil yang kini sudah sangat tua  memiliki banyak sejarah yang harus di gali tak terkecuali legenda yang berkembang di Purworejo,
Purworejo Merupakan salah satu saksi sejarah di kota kecil Jawa Tengah yang lebih tepatnya di daerah pesisir laut selatan perbatasan dengan Magelang dan Yogyakarta,Purworejo yang dahulunya di kenal dengan Tanah Bagelen yang pada saat ini merupakan daerah yang sangat di segani oleh daerah-daerah lain,
Di Purworejo Berkembang legenda yang secara turun-temurun telah menjadi cerita rakyat orang Purworejo, Salah satunya adalah Nyai Bagelen
Pada jaman Mataram I, tersebutlah seorang raja yang bijaksana yang bernama Prabu Sowelocolo. Ia memiliki enam orang putra, masing-masing bernama Sri Moho Punggung, Sendang Garbo, Sarungkolo, Tunggul Ametung, Sri Getayu, dan Sri Panuhun.
Sri Panuhun memiliki seorang cucu, anak dari Joko Panuhun atau Joko Pramono yang bernama Roro Dilah atau Roro Wetan yang kemudian dikenal dengan sebutan Nyai Bagelen. Roro Dilah juga dapat disebut dengan Roro Wetan karena kedudukannya di daerah timur. Sri Getayu memiliki cucu dari putra Kayu Mutu bernama Awu-Awu Langit. Ia berkedudukan di Awu-Awu (Ngombol). Setelah dewasa, Roro Dilah menikah dengan Raden Awu-Awu Langit dan menetap di Hargopuro atau Hargorojo.
Dari pernikahan tersebut, Roro Dilah atau Roro Wetan dan Pangeran Awu-Awu Langit dianugrahi tiga orang putra, Bagus Gentha, Roro Pitrang dan Roro Taker.
Kesibukan Roro Wetan dan Awu-Awu Langit adalah bertani padi, ketan, dan kedelai, beternak sapi, ayam dan juga menenun. Konon karena tanahnya cocok untuk ditanami kedelai dan hasilnya melimpah maka wilayah tersebut dikenal dengan nama Medang Gelih atau Padelen dan sekarang disebut dengan Bagelen.
Roro Wetan atau Nyai Ageng Bagelen sosoknya tinggi besar dengan rambut terurai dan senang memakai kemben lurik. Beliau memiliki keistimewaan berupa kemampuan spiritualnya dan juga payudaranya yang sangat panjang sehingga ketika putra-putrinya ingin menyusu ia tinggal menyampirkan ke belakang.
Pada suatu ketika, Nyai Ageng Bagelen sedang asik menenun. Sebagaimana biasanya, ia menyampirkan payudaranya ke belakang supaya tidak mengganggu. Tidak disangka-sangka datang anak sapi menghampirinya, Nyai Ageng Bagelen mengira itu salah satu putra-putrinya yang ingin menyusu. Tanpa menghiraukan kedatangan anak sapi tersebut ia terus asik menenun. Terkejutlah ia ketika menoleh, ternyata yang menyusu bukanlah anaknya tetapi anak sapi itu.
Kejadian tersebut membuat Nyai Ageng Bagelen merasa malu dan marah, sehingga menyebabkan pertengkaran dengan Raden Awu-Awu Langit. Dan akhirnya ia menyampaikan pesan supata atau wewaler untuk semua anak cucu beserta keturunannya, agar atau jangan tidak memelihara sapi.
Peristiwa yang memilukan atau menyedihkan juga terjadi kembali pada hari Selasa Wage. Pada waktu itu masih musim panen kedelai dan padi ketan hitam. Kedua putrinya Roro Pitrang dan Roro Taker masih senang bermain-main. Namun tidak sebagaimana biasanya, hingga sore hari kedua putri itu tidak kunjung pulang.
Selesai menenun Nyai Ageng Bagelen berusaha mencari. Karena tidak menemukannya, ia menanyakan kepada suaminya. Namun jawaban Raden Awu-Awu Langit sepertinya kurang mengenakan. Dengan perasaan marah dan jengkel disongkelah padi ketan hitam dan kedelai di dalam lumbung sehingga isinya berhamburan terlempar jauh hingga jatuh di desa Katesan dan Wingko Tinumpuk.
Betapa terkejutnya Nyai Ageng Bagelen ketika melihat kedua putri kesayangannya terbaring lemas pada lumbung padi tersebut. Setelah didekati ternyata mereka telah meninggal.
Semenjak peristiwa tersebut kehidupan Nyai Ageng Bagelen dengan Raden Awu-Awu Langit selalu diwarnai dengan pertengkaran. Akibatnya Raden Awu-Awu Langit memutuskan untuk pulang ke daerahnya, Awu-Awu, sedangkan Nyai Ageng Bagelen tetap tinggal di Bagelen untuk memerintah negeri.
Suatu ketika terdengar kabar bahwa Raden Awu-Awu Langit meninggal di desa Awu-Awu. Mendengar berita tersebut Nyai Ageng Bagelen merasa sedih dan berpesan kepada Raden Bagus Gentha bahwa anak cucu keturunannya dilarang atau berpantangan untuk bepergian atau jual beli, mengadakan hajad pada hari pasaran Wage, karena pada hari itu saat jatuhnya bencana dan merupakan hari yang naas. Selain itu orang-orang asli Bagelen juga berpantangan untuk menanam kedelai, memelihara lembu, memakai pakaian kain lurik, kebaya gadung melati dan kemben bagau tulis.
Setelah Nyai Ageng Bagelen menyampaikan pesan tersebut kepada Raden Bagus Gentha putranya, ia kemudian masuk ke kamarnya dan lemudian menghilang tanpa meninggalkan bekas atau moksa.
Selain itu Nyai Ageng Bagelen juga mengajarkan kepada anak cucu keturunannya agar melakukan tiga hal, yaitu: bersikap jujur, berpenampilan sederhana dan lebih baik memberi dari pada meminta.
Sepeninggalan Nyai Ageng Bagelen, kedudukan dan pemerintahan Bagelen digantikan oleh Raden Bagus Gentha.
Cerita di atas merupakan cerita lisan dari Bapak Usaryo Cokro Husodo, juru kunci dari petilasan Nyai Ageng Bagelen yang berada di kecamatan Bagelan
Komplek petilasan Nyai Bagelen terdapat sejumlah makam kuno dan peninggalan sejarah Buddha yang berupa stupa-stupa berjumlah sembilan buah dengan masing-masing ukuran stupa yang berbeda dan dinyatakan sebagai peninggalan sejarah purbakala yang dilindungi oleh Undang-Undang
Gb. Stupa Di Pesarean Nyai Bagelen

Jika diantara kalian ada yang menginginkan kelanjutan cerita ini, bisa mencari sesorang yang masih Keturunan dari Nyi Bagelen, dan mereka bisa di temui di suatu Pesantren Tertutup dan terpencil yang berada di Desa yang bernama Desa Brenggong Jambul.
BEDUG PURWOREJO BEDUG TERBESAR DI DUNIA

Purworejo kota kecil yang kini sudah sangat tua  memiliki banyak sejarah yang harus di gali tak terkecuali ikon Islam di perkembangan agama Islam yang ada di kota ini Bedug Pendowo yang terkenal sebagai Bedug Islam Terbesar Dunia yang hingga kini masih kokoh berada diMasjid Darul Muttaqien yang tempatnya berada di dekat alun-alun kabupaten Purworejo.
Purworejo Merupakan salah satu saksi sejarah kemajuan perkembangan agama Islam di kota kecil Jawa Tengah yang lebih tepatnya di daerah pesisir laut selatan perbatasan dengan Magelang dan Yogyakarta,Purworejo yang dahulunya di kenal dengan Tanah Bagelen yang pada saat ini merupakan daerah yang sangat di segani oleh daerah-daerah lain,dalam sejarah saat itu ada salah satu tokoh Islam yaitu Sunan Geseng muballigh besar yang meng islamkan wilayah Purworejo dan sekitarnya bahkan pengaruhnya hingga ke Yogyakarta dan Magelang.
Purworejo memiliki peninggalan-peninggalan kuno yang sangat berharga, dan merupakan satu-satunya di Indonesia yaitu berupa Bedug. Raden Adipati Cokronagoro pertama berkeinginan untuk melengkapi semua perlengkapan Masjid Agung Purworejo ini. Demikian pula beliau menghendaki sebuah Bedug yang akan dipakai sebagai pertanda telah masukknya saat Sholat Fardhu ( Wajib ) juga dapat dipakai untuk menandai segala kegiatan ibadah Umat Islam serta kenegaraan waktu itu. Maka keinginan Raden Adipati ini diutarakanlah kepada para Suntono Kadipaten beserta para ‘Ulama’ Kadipaten Purworejo. kayu Jati Bang, yang batangya telah dipakai untuk membuat Soko Guru Masjid Agung serta Pendhopo Kadipaten, tinggal sisanya yang disebut Bongkot ( pangkal ). Bongkotnya kayu jati itu cukup besar, berdiameter hampir 2,50 meter.

Gb. Bedug Ageng Pendowo – Kyai Bagelen

Raden Adipati Cokronagoro sangat setuju untuk memanfaatkan bongkot kayu jati Bang tersebut dan memerintahkan kepada adindanya Raden Tumenggung Prawironagoro Wedana Bragolan untuk mengurusnya. Dengan dipimpin oleh Raden Tumenggung Prawironagoro, pembuatan Bedung Agung itu dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Dengan trampilnya para tukang kayu mengerjakan Bedug besar itu, digergaji dan dilubanginya bongkot kayu jati tersebut. Setelah dilubangi dan dihaluskan maka tinggallah ukuran yang sesungguhnya, yaitu diameter ( garis tengah ) 194 sentimeter pada bagian depan dan bagian belakang 180 sentimeter. Dapat dibayangkan saat pembuatan lubang pada bongkot kayu jati tersebut, tentunya sangatlah sukar, karena kayunya sangat keras. Bahkan ada perkiraan dalam melubangi kayu itu dilakukan dengan membuat bara didalam kayu itu sendiri, sehingga akan terjadi lubang, kemudian dilanjutkan dengan dicungkil sedikit demi sedikit sampai akhirnya terbentuk lubang yang sangat bagus.
Tetapi dapat pula dilakukan pencungkilan mulai dari saat awal secara sedikit demi sedikit sampai pada akhirnya membentuk lubang yang diinginkan. Yang jelas dalam proses pembuatan bedug itu sendiri, dilaksanakan dengan hati-hati dan permohonan kepada Allah SWT. Agar kelak Bedug yang terbentuk dapat bermanfaat dan berfungsi dengan baik.
Pada akhirnya pekerjaan yang cukup sulit itu selesai jugalah dikerjakan orang dengan ukuran sebagai berikut :
Garis tengah bagian depan = 194 cm
Garis tengah bagian belakang = 180 cm
Keliling lingkaran depan = 601 cm
Keliling lingkaran belakang = 564 cm
Panjang rata-rata = 292 cm

Bahan dari kayu Jati Bang bagian pangkalnya ( bongkot nya ) sisa kayu jati Pendowo, tidak terdapat sambungan, jadi utuh satu glundung. Kemudian Wedana Bragolan yang mendapat tugas memimpin pengerjaan bedug itu, yaitu Raden Tumenggung Prawironagoro, menghadap (sowan ) Kanjeng Raden Adipati Cokronagoro I untuk melaporkan, bahwa pembuatan Bedug Agung telah selesai dengan baik. Untuk selanjutnya tinggal menuggu perintah pengangkutannya ke kota Purworejo, yang jaraknya dari Dukuh Pendowo sampai ke kota Purworejo adalah 9 kilometer.
Mengingat pada masa itu jarak 9 kilometer adalah cukup jauh, apalagi jalannya belumlah seperti pada masa kini yang sudah beraspal dan halus. Pada masa itu, jalan dari Purwodadi sampai ke kota Purworejo masih merupakan jalan tanah yang belum rata dan bilamana dimusim hujan akan berlumpur, sedangkan pada musim panas berdebu penuh batu. Dikiri kanannya masih tertutup hutan dan dapuran bambu yang cukup rapat, sedangkan rumah penduduk masih jarang sekali. Maka masalah pengankutan Bedug Agung itu akan menjadi masalah yang cukup besar dan rumit. 
Setelah Bupati Raden Adipati Cokronagoro menerima laporan dari adindanya Wedana Raden Tumenggung Prawironagoro, bahwa Bedug Agung telah selesai dibuat dan siap untuk segera diangkut ke Purworejo. Untuk pengankutan Bedug Agung tidaklah mudah karena membutuhkan tenaga yang ahli karena keadaan Bedug yang sangat besar dan tempat dimana Bedug itu dibuat karena hutan jati tersebut merupakan tempat yang agak menakutkan, wingit kata orang Jawa. Disamping itu diperlukan juga ketajaman pikir serta kebijakan orang yang akan memimpin pengangkutan Bedug tersebut dengan melalui jalan pada saat itu yang kondisinya jelek. Tentulah hanya orang yang mempunyai daya linuwih sajalah yang akan berhasil melaksanakan tugas berat itu
Pada masa itu menurut tradisi masyarakat Jawa, setiap pekerjaan atau tugas yang akan dilaksanakan, haruslah dipimpin oleh kaum kerabat dari yang mempuyai perintah tersebut ( ingkang yasa ), setelah kemudian ternyata tidak ada yang sanggup, maka diperkenankan untuk dicarikan penggantinya dari orang luar kerabat yang yasa itu.
Demikian pula dengan tugas berat ini, bahwa ternyata kerabat Cokronagoro itu tidak ada yang sanggup atau bersedia untuk melaksanakannya. Maka akhirnya terpaksa harus dipilihkan orang luar. Kemudian dengan agak takut-takut, Tumenggung Prawironagoro mencoba mengajukan usul untuk memilih orang luar kerabat Cokronagaran, tetapi yang masih ada kaitannya dengan kerabat Cokronagaran. Beliau mencoba mengusulkan Putra Menantunya sendiri sebagai pengemban tugas besar itu, yaitu Kyai Muhammad Irsyad yang menikah dengan putrinya.
Kyai Muhammad Irsyad ini adalah seorang Kyai serta Kaum ( Labai) dari pondok pesantren Solotiang di wilayah Loano. Kyai Irsyad ini mempunyai kelebihan dan kecerdasan pikirnya dibanding dengan orang-orang lainnya. Setelah disampaikan usulannya serta alasan-alasan pengajuan menantunya itu kepada kanjeng Adipati, maka dengan harap-harap cemas Raden Tumenggung Prawironagoro menanti jawaban dari Kanjeng Adipati. Tetapi kemudian ternyata usulan tersebut dapat diterima oleh Kanjeng Raden Adipati Cokronagoro. Demikian pula pada saat itu para pembesar Kadipaten pun menyetujuinya. Mereka percaya bahwa Kyai Muhammad Irsyad akan mampu mengatasi pekerjaan besar tersebut.
Dengan demikian dalam bahasa Jawa dikatakanlah bahwa Kyai Muhammad Irsyad itu ” sinengkaake ing ngaluhur ( diangkat menjadi orang besar ) oleh Kanjeng Raden Adipati Cokronagoro I. Kemudian para ahli yang terpilih Kanjeng Adipati Cokronagoro berkenan melantik Kyai Muhammad Irsyad menjadi Pembesar yang akan mengepalai pekerjaan besar dan mulia itu.
Kayu jati bakal bedug diikat dengan kuat, beberapa ujung tali pengikat itu ditarik secara ramai-ramai. Bagian bawah dilandasi dengan kayu panjang bulat beberapa buah, agar dalam penarikan terasa ringan karena kayu bulat tadi akan berputar. Kemudian muka bedug dipasang lagi kayu-kayu bulat yang lain, demikian seterunya hingga sampai ke pos pertama kemudian berhenti untuk istirahat. Sepanjang perjalanan para pekerja bersorak-sorak Rambatirata, gugur gunung dengan diiringi gendang, angklung, seruling, bende dan tabuhan lainnya, sehingga menambah semangat para pekerja tadi. Riuh rendahlah suara para pekerja para pekerja dan para penonton disepanjang perjalan itu. Sesampainya di Braak atau pos pemberhentian, para penarik bedug pun berhentilah untuk beristirahat. Di braak itu telah disiapkan makanan dan minuman, perangkat tetabuhan gamelan beserta ledeknya. Penduduk sekitarnya menyambut rombongan pekerja penarik bedug Agung itu.
Disaat istirahat dengan lemah gemulai para ledek ( Tandak ) itupun menari diiringi irama gamelan. Sesekali diantar mereka turut menari, berjoget dengan para ledek tersebut menambah gembiranya suasana. Demikian keadaan di Braak saat itu, sampai pada akhirnya mereka terlelap tidur. Begitulah setiap Braak dicapai setiap harinya, hingga sampai Braak terakhir terjangkau. Maka diperkirakan memakan waktu 20 hari perjalanan penarikan Bedug Ageng tersebut. 
Demikianlah Pos demi pos dilalui selama kurang lebih 20 hari dengan penuh semangat serta perhatian dari penduduk sekitarnya,akhirnya sampailah di Kota Purworejo
Di Kota Purworejo telah disiapkan penyambutan oleh Kangjeng Raden Adipati Cokronagoro beserta pembesar-pembesar Kabupaten dan Ulama-ulama, demikian pula penduduk Kota Purworejo turut mengelu-elukannya.
Di depan Gapura Masjid Agung, para penyambut telah siap siaga menunggu kedatangan Beduk Ageng yang akan menjadi kebanggaan seluruh rakyat Purworejo nantinya. Tak berapa lama terdengarlah suara bunyi-bunyian riuh rendah , puput serunai, gendang dan angklung serta sorak sorai para penarik beduk dan penonton, bercampur menjadi satu, gegap gemita tidak karuan suaranya.
Para penyambut di depan gapura masjid, bergoyang dan bergumam seperti suara lebah mendengung, semua melihat kearah datangnya suara gemuruh riuh rendah itu. Tampaklah didepan sendiri para penari, pentulan dan jathilan menari-nari mengikuti bunyi-bunyian, diikuti oleh para penabuh dan akhirnya tampaklah Kiayi Muhammad Irsyad bersama para pengirimnya berjalan didepan para penarik Bedug Agung itu. Di belakang sendiri para penggembira dari desa-desa yang dilalui turut mengiringinya dengan membawa serta bunyi-bunyiannya sendiri-sendiri. Sesampainya didepan gapura Masjid Agung, rombongan tersebut berhenti. Para penari, pentulan jathilan dan lain sebagainya, menyibak memberikan jalan untuk lalunya Kyai Muhammad Irsyad. 
Setelah Kayu Jati yang diperuntukan bagi Bedug Agung itu sampai di masjid Agung Kota Purworejo, maka untuk selanjutnya akan disempurnakan sebagaimana halnya sebuah bedug, yaitu dipasang penutup Bedug dari kulit. Karena besarnya bedug itu, maka diperlukan kulit penutup yang besar pula kemudian dicarilah kulit yang besar dari hewan besar. Pada masa itu masih banyak terdapat banteng. Maka jatuhlah pada pilihan hewan ini. Setelah kulit banteng didapat, lalu dipanggilmya seorang yang ahli Pemangkis ( penutup ) bedug yang terkenal di Purworejo
Sebelum di tutup, didalam bedug itu dipasang semacam gong sejumlah 2 buah, dipasang behadapan dengan maksud, apabila bedug itu di tabuh, maka akan diteruskan pada kedua gong tadi getarannya. Diharapkan suaranya akan bertambah nyaring. Dalam istilah ilmu alamnya ( fisika ) hal itu disebut resonansi. 
Bedug Agung yang telah selesai diberi penutup dari kulit banteng tersebut, digantung pada kerangka kayu jati dengan rantai besi. Kemudian diletakkan disebelah selatan dalam serambi Masjid Agung. Disampingnya diletakkan sebuah khenthongan kayu jati yang agak besar, sebagai pembantu irama bedug bila di tabuh. Pada awalnya Bedug Ageng itu adalah ditabuh orang apabila telah tiba saatnya Sholat Wajib yang Lima. Jadi didalam waktu satu hari Bedug Agung di pukul dengan irama tertentu sebanyak lima ( 5 ) kali. Pada masa itu pepohonan masih cukup rapat,, suara bising dan hiruk pikuk tidak ada, maka suara serta gema dari bunyi Bedug Agung sangat keras terdengar.

Maka dimintalah lembu Ongale tadi untuk memenuhi kebutuhan Bedug Agung. Tentu saja pemiliknya tidak merasa keberatan untuk memberikannya. Akhirnya disembelih dan dikulitilah lembu itu serta disamak dengan baik agar diperoleh bahan penutup bedug yang kuat dan awet.
Pada tanggal 13 Mei 1936, dipasanglah kulit lembu Ongale itu sebagai ganti kulit penutup Bedug Agung yang rusak tadi.
Penggantian kulit Bedug Agung yang terakhir ini, adalah pada bulan Mei tanggal 3 tahun 1993 Masehi. Yang diganti ialah kulit penutup bagian belakang, adapun penggatinya hanya kulit sapi biasa yang cukup besar pemberian seorang dermawan dari Cilacap. Anehnya bila kulit bedug sudah diberikan, maka dapat dipastikan beberapa saat kemusian salah satu bagian penutup itu terus rusak.


Gb. Data Bedug Ageng Pendowo – Kyai Bagelen

1. Bahan Bedug : Bongkot (pangkal)pohon jati bang yang bercabang lima,yang berusia ratusan tahun 
2.Ukuran Bedug : 
-Panjang Badan Bedug : 292cm
-Garis tengah depan : 194cm 
-Garis tengah belakang :180cm 
-Keliling bagian depan : 601cm 
-Keliling bagian belakang :564cm 
3.Penutup Bedug Semula dari kulit Banteng .1 Tanggal 3 Mei 1936 di ganti dengan kulit lembu Ongale. Bagian belakang diganti lagi dengan kulit sapi besar pada bulan Mei 1993 
4 Paku penguat untuk penguat sekeliling kulit Penutup Bedug, diberikan paku keliling tersebut dari kayu jati
-Jumlah paku keliling : Bagian depan = 112 buah
-Bagian belakang = 98 buah